Menurut Yani (2011: par 2) “Jumlah anak putus sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia masih tinggi. Dari Februari 2006 hingga Agustus 2007, tercatat penduduk yang berpendidikan SD dan tidak tamat SD meningkat dari 17,57% menjadi 18,52%. Bahkan, pada tahun 2009 lalu diperkirakan sekitar 12 juta anak Indonesia putus sekolah.” Barbagai macam masalah telah melatar-belakangi kasus ini. Dan dapat dipastikan bahwa hampir 100% penyebabnya adalah uang. Orangtua yang tidak sanggup membiayai sekolah anaknya, atau anak yang diwajibkan untuk membantu orangtua karena penghasilan orangtua tidak mencukupi, dsb. Inikah hasil usaha pemerintah untuk pendidikan? Jumlah dari anak putus sekolah semakin meningkat. Kalau penerus bangsa banyak yang tidak melanjutkan pendidikan apakah negara kita dapat bertahan dalam persaingan dunia, dan sangat diragukan dapat menggenggam kekuasaan di dalam dunia. Apakah penerus bangsa akan membawa negara menjadi “abdi dalem” negara lain? yang bersembunyi di ketiak negara adikuasa dan tak berdaya melawan apapun. Apakah ini kesalahan para penerus bangsa? Atau kesalahan metode negara pemerintahan dalam membimbing para penerus bangsa?
Padahal, berdasarkan Anggaran Pendidikan Dalam APBN (2009: 3-4) “Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan, baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Sudah jelas tertera bahwa semua rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, namun kenapa masih ada yang tidak melanjutkan pendidikannya? Dimanakah letak keadilan itu berada? Dana yang disiapkan untuk pendidikan pun cukup banyak. Apa yang sebenarnya terjadi dalam sistem pemerintahan ini, kenapa mereka tidak mendapatkan haknya? Kepada siapa mereka harus menuntut? Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Diperlukan identifikasi kepada seluruh perangkat pelaku metode pendidikan agar pertanyaan-pertanyaan tersebut mendapat jawabannya.
identifikasi pertama yang mengejutkan datang dari pihak pelaku pengembangan pendidikan. “Hasil survei PERC dari tahun 2008 menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup 2010.” (Yani, 2011: 4). Ternyata sebuah aksi korupsi telah berjelajah menggerogoti nasib para pelajar Indonesia. Dengan ego para penguasa, mereka mengedepankan kepentingan pribadi untuk mencapai kebahagiaan pribadi walaupun dengan merampas hak oranglain. Apakah tak terbayangkan oleh mereka betapa hancurnya masa depan Indonesia tanpa penerus bangsa yang tidak mengenyam pendidikan? Ini merupakan sebuah titik terang untuk para penerus bangsa kepada siapa mereka menuntut.
Di sisi lain muncul identifikasi dari biaya tinggi yang telah dipatokkan oleh masing-masing sekolah. Hal ini semakin menghambat para penerus bangsa untuk mendapatkan pendidikan. Jadi, tidak hanya korupsi yang dilakukan oleh pelaku pengembangan pendidikan namun juga biaya yang tinggi dari masing-masing sekolah.. Dana APBN tergolong cukup besar sebagai peningkatan kualitas dan kuantitas pelajar dan mahasiswa jika digunakan sebaik-baiknya. Namun, kenyataannya, pendidikan masih mahal. Biaya pendidikan mulai dari TK hingga ke perguruan tinggi bisa mencapai Rp.100.000.000 lebih. Ini akan menjadi beban bagi warga yang mempunyai pendapat kurang mencukupi. Biaya yang mahal ini merupakan masalah dalam pendidikan ataukah salah satu jenis korupsi dalam pendidikan? Pendidikan memang mahal, namun bukankah sudah menjadi hak setiap warga untuk memperoleh pendidikan? Kemudian, yang menjadi permasalahan adalah, apakah yang menjadi inti dari mahalnya pendidikan. Kesalahan terjadi pada jumlah dana yang kurang atau kecurangan dalam sistem pengelolaan dana untuk pendidikan tersebut.
Setelah itu, identifikasi dari kurikulum di sekolah dan universitas. Di sinilah muncul masalah dalam materi kependidikan. Kurikulum yang seharusnya menjadi pegangan para penerus bangsa malah berbalik menjadi suatu senjata yang membingungkan dan siap mengggoyahkan sistem pembelajaran. Kurikulum yang sering diganti menghambat perangkat pendidikan dalam mencapai kualitas yang lebih baik. Siswa dan murid harus beradabtasi dengan kurikulum yang telah diganti sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Namun kebijakan seperti apakah itu? Murid-murid kebingungan mencari buku dengan edisi terbaru. Mereka tidak lagi bisa mendapatkan buku dengan harga murah seperti edisi yang lama, atau meminjam buku pada kakak kelas. Bisa dibayangkan betapa susahnya para murid yang berasal dari keluarga yang tidak mampu untuk menyesuaikan kurikulum ini. Mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih. Sedangkan para mahasiswa yang mempunyai nilai yang kurang baik juga merasakan kesusahan. Kurikulum yang baru menghapus mata kuliah tersebut, dan ini akan memberatkan mereka untuk memperbaiki nilai mereka. Cara ini kurang baik dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah nasib terombang ambing oleh kebijakan kurikulum, apakah kehadiran guru dapat membantu dalam menyelesaikan masalah ini. Sangat disesalkan, 60% guru di Indonesia adalah layak mengajar, sedangkan yang lainnya dipertanyakan. Hal ini mengiris hati para rakyat yang selalu mendengar minimal APBN 20% untuk pendidikan, namun ternyata tidak terealisisasi dengan baik. Semakin tinggi gelar kemungkinan mendapat gaji yang tinggi semakin besar. Keputusan ini membuat mereka buta akan hal itu. Mereka berlomba-lomba mendapatkan gelar yang tinggi tanpa tujuan menambah pengetahuan. Bahkan, para guru membeli gelar hanya untuk mendapatkan kenaikan gaji. Mereka hanya dengan menyetor Rp.10.000.000- Rp.25.000.000 dapat memesan gelar S1, S2, atau S3. Betapa mudahnya hal ini, sehingga banyak calon guru atau guru yang tergiur dengan cara curang ini. Calon guru atau guru yang berminat dalam usaha peningkatan gaji dengan kecurangan ini tidak sedikit pelakunya, sekitar 5.000 orang. Apakah bagi mereka kekayaan ilmu tidak berarti apa-apa, hingga sampai hati mereka mengajar dengan cara yang kotor. Sehingga tidak diragukan lagi mengapa banyak guru yang tidak layak untuk mengajar. Selain cara mendapatkan gelar yang kotor, beberapa guru mengadakan bisnis dengan penerbit dalam memperjual-belikan buku sebagai panduan di kelas. Betapa mirisnya kenyataan bahwa guru bekerjasama dengan penerbit untuk memperjual-belikan buku-buku tersebut. Tanpa pertimbangan buku tersebut berkualitas atau tidak, yang penting mereka mendapat komisi dari bisnis tersebut. Dan, para murid menggunakan buku tersebut sebagai panduan di kelas, agar para guru mendapat komisi. Selanjutnya, apakah hasil dari kecurangan tersebut menghasilkan sebuah pencapaian yang luhur untuk pendidikan. Guru yang seharusnya menjadi pedoman bagi para murid malah melakukan sebuah komersialisasi pendidikan.
Pernyataan diatas adalah realitas dari kondisi sebagian guru di Indonesia. Selanjutnya bagaimana keadaan murid dengan dana APBN 20% dari pemerintah? Banyak kejadian yang miris untuk didengar rakyat Indonesia, beberapa murid untuk mencapai sekolahnya harus berenang, karena sekolah dan rumah mereka terpisah oleh sungai. Di tempat lain, beberapa murid juga belajar di sekolah tanpa atap, sehingga mereka tidak nyaman dalam belajar. Dimanakah dana APBN itu berada? Mengapa disaat para penerus bangsa mempunyai semangat yang besar dalam belajar namun terkendala oleh berbagai masalah? Apakah usaha mereka sebanding dengan kualitas dan fasilitas pendidikan yang diberikan? Namun, kenyataannya sangat pahit (Yani, 2011: 5) menyatakan “Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Perwakilan Jakarta menemukan indikasi penyimpangan dan kerugian negara senilai Rp 5,7 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, dan block grant di enam SMPN dan satu SD di Jakarta pada 2009, pada 2007 BPK juga menemukan penyelewengan dana BOS yang lebih parah. Data BPK menyebutkan, terjadi penyimpangan pada 2.054 sekolah dari 3.237 sampel sekolah yang diperiksa dengan nilai penyimpangan lebih kurang Rp 28,1 miliar.” Dana yang seharusnya untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia malah terjadi penyelewengan, ini merupakan suatu hal yang memalukan.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang selalu disebut-sebut saat kampanye. Segala macam bentuk janji terlontarkan untuk menjamin kualitas pendidikan. Namun, dalam hal ini pendidikan hanya sebuah komoditas untuk menarik rakyat untuk mendukung partai tersebut, dengan realitas jauh dari kata “puas”. Seakan-akan, pendidikan menjadi sebuah ajang komersialisasi dengan mempertaruhkan nasib para penerus bangsa.
Selanjutnya, bagaimanakah cara untuk memperbaiki kerusakan sistem dalam bidang pendidikan ini? Perbaikan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, seluruh perangkat dalam bidang pendidikan yaitu penerus bangsa, keluarga atau orangtua yang dapat menentukan apakah anak-anak mereka mendapat izin untuk memperoleh pendidikan atau tidak serta dari pihak pengelola yakni perangkat guru beserta pihak pemerintah yang melaksanakan program pendidikan. Mereka harus sadar akan pentingnya kualitas pendidikan. Agar, masa depan Indonesia mencapai kesejahteraan. Setelah itu, perbaikan dalam pedoman pendidikan yakni kurikulum juga sangat penting. Jadi kesatuan perangkat yang mempunyai kesadaran mendasar terhadap pentingnya pendidikan beserta kurikulum yang stabil akan menciptakan kualitas pendidikan yang mendekati sempurna.
Perlu ditanamkan kepada para murid dan mahasiswa bahwa nasib bangsa di kemudian hari adalah milik mereka. Apa jadinya negara kita kedepan akan menjadi tanggungjawab mereka, jadi mereka harus berusaha menjadi yang terbaik demi negara tercinta. Semangat yang besar harus dibarengi dengan dukungan oleh keluarga dan orangtua. Sekuat apapun semangat murid dan mahasiswa akan menjadi tidak berarti di saat orangtua dan keluarga mereka tidak memberi izin untuk memperoleh pendidikan. Jadi, hendaknya para orangtua dan keluarga siap material dan spiritual untuk mencapai pendidikan bagi anak dan saudara mereka. Tidak hanya memikirkan di kehidupan sekarang, namun di kehidupan anak cucu mereka yang akan datang. Perbaikan kualitas guru juga sangat diperlukan. Dibutuhkan seleksi yang ketat agar para guru yang mendapat gelar dengan cara curang tidak dapat memalsukan identitasnya. Karena, kualitas guru yang rendah akan sangat mempengaruhi hasil kegiatan belajar mengajar di kelas. Setelah itu, diperlukan perhatian terhadap kurikulum sebagai dasar kependidikan. Pemerintah dapat mengganti kurikulum agar mencapai kesempurnaan sistem, namun intesitas pergantian kurikulum hendaknya dikurangi, karena kurikulum baru akan menimbulkan banyak adaptasi yang cukup sulit bagi mahasiswa dan murid. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan kerjasama dari tiap masing-masing pihak agak tujuan Undang-undang dapat terealisasi dengan baik.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. ”Anggaran Pendidikan Dalam APBN”. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29. (08 Juni 2009) Par: 3-4
Yani, Muchammad. “Wajah Buruk Pendidikan Indonesia” http://hankam.kompasiana.com/2011/11/19/wajah-buruk-pendidikan-indonesia/. (19 November 2011) Par: 2, 4, 5